Masyarakat
Indonesia adalah masyarakat yang malas membaca,begitulah kira-kira paradigma
yang berkembang di Negara kita ini.Pandangan ini didukung oleh fakta sejarah
bahwa peninggalan budaya Indonesia yang berbentuk tulisan terbilang minim.Meskipun
kita mengenal ada beberapa penulis kitab,namun boleh dibilang prosentasenya
minim.Kebanyakan budaya kita hadir dalam bentuk syair,lagu atau bentuk tak
tertulis lainnya.Sudut pandang inilah yang menjadi semacam patokan bagi para
peneliti untuk menyimpulkan bahwa minat baca masyarakat Indonesia itu rendah.
Pertanyaanya
sekarang adalah,benarkah demikian?sejujurnya saya kurang sependapat dengan
sudut pandang ini.Memang benar,bahwa di Indonesia peninggalan sejarah yang
berbentuk tulisan terbilang minim,namun tidak berarti hal ini bisa menjadi
patokan umum untuk mengatakan bahwa masyarakat Indonesia malas untuk
membaca.Sejujurnya saya melihat ada beberapa alasan yang menjadi latar belakang
“kemalasan “ ini.
Pertama,tingkat
pendidikan masyakat Indonesia yang tidak seluruhnya terpelajar.Mari kita
berangkat dari fakta bahwa pendidikan di Indonesia adalah barang “baru”.Meskipun
saya mengatakan baru namun tidak bermakna “baru” secara absolut,namun lebih
bermakna komparatif,dalam artian bahwa dibandingkan dengan Negara berkembang
lainnya konsep pendidikan di Indonesia terbilang baru.Mari kita menilik fakta
bahwa pendidikan dari jaman kerajaan dulu hanya diperuntukan bagi kaum
bangsawan.
Di
jaman penjajahanpun hanya mereka yang memiliki status sosial tinggi saja yang
dapat menikmati pendidikan.Tokoh-tokoh terkenal dalam buku sejarah kita itu
merupakan orang berada yang tidak hanya pintar namun juga berduit.Tokoh-tokoh
elite ini sendiri hanya mewakili sebagian kecil masyarakat Indonesia.sementara
itu disisi lain,kebanyakan masyarakat Indonesia jaman itu masih tidak terpikir
pentingnya pendidikan.
Dijaman
orde baru sekalipun,jangkauan pendidikan masih berpusat pada pulau Jawa dan
pendidikan sendiri masih dianggap sebagai sesuatu yang tidak penting.Oleh
karena itulah,boleh dibilang pada jaman itu kemampuan membaca masyarakat kita
masih belum bisa diandalkan.masih banyak orang yang buta huruf waktu itu.Ketika
jumlah buta huruf tinggi dan jangkauan pendidikan rendah,tentu kita tidak bisa
mengharapkan mereka untuk memiliki minat baca yang tinggi.
Pendidikan
di Indonesia menjadi sebuah komoditas umum adalah ketika memasuki era 90an
dimana kesejahteraan masyarakat di Indonesia terbilang cukup “merata”.Tentu
saja hal ini mengesampingkan fakta mengenai daerah timur Indonesia yang masih
sulit untuk mendapatkan akses pendidikan.Namun demikian,daerah barat Indonesia
yang mewakili mayoritas penduduk
Indonesia sudah mendapatkan akses pendidikan yang cukup.
Dari
sini,kita akan menanjak pada permasalah kedua kenapa minat baca masyarakat
Indonesia rendah yakni kualitas bahan bacaan.Kualitas bahan bacaan di Indonesia
boleh dibilang rendah dibandingkan dengan Negara lainnya.Saya sendiri menyadari
hal ini ketika berkesempatan untuk membandingkan beberapa bahan bacaan dari
beberapa Negara dan membandingkannya dengan bahan bacaan Negara kita.Ada
beberapa kelemahan yang cukup menonjol dalam bahan bacaan yang kita miliki
yakni dari segi isi bacaan,kemudahan untuk dipahami dan orisinalitas.
Dari
segi isi bacaannya,untuk beberapa buku bacaan ilmiah misalnya,buku dalam negeri
cenderung mencoba untuk memasukan banyak informasi secara bersamaan kedalam
satu buku tanpa mencoba untuk membahas lebih mendalam mengenai informasi
tersebut.Misalnya begini,buku pengantar manajemen di Indonesia memiliki
kecenderungan untuk menempatkan banyak definisi tentang manajemen (dari banyak
ahli meskipun bertentangan) tanpa memberikan penjelasan mendalam mengapa
definisi ini muncul.
Disisi
lain,buku pengantar manajemen versi barat hanya menggunakan satu definisi
manajemen,namun membahas definisi ini secara mendalam dan menjelaskan satu pola
pikir mengapa definisi ini diambil.Kecenderungan untuk memasukan terlalu banyak
informasi kedalam satu tema atau satu buku membuat pembaca cenderung kesulitan
untuk memahami isi buku tersebut dan pada akhirnya membuat mereka enggan untuk
membaca buku itu sendiri.
Selain
dari segi isinya yang cenderung terlalu dipadatkan,buku di Indonesia juga
bermasalah dari segi kemudahannya untuk dipahami.Beberapa buku luar negeri jika
anda baca,akan terkesan seperti orang bercerita dalam kelas.Konsep ini
memberikan sedikit informasi,namun membangun konstruksi pikir kenapa konsep
tersebut muncul dan bagaimana konsep tersebut diaplikasikan dalam kehidupan
sehari-hari.Hal ini tidak muncul di buku Indonesia.
Buku
di Indonesia cenderung menggunakan banyak saduran dari berbagai sumber
(termasuk sumber buku barat),dan memiliki kecenderungan menggunakan bahasa yang
sulit dimengerti.Hal ini membuat pembaca kesulitan untuk memahami alur pikir
yang ingin dibawakan oleh sang penulis.Ketika logika pikir yang dituangkan
dalam bentuk tulisan ini sulit dipahami,maka kecenderungan pembaca untuk
mengerti atau ingin membaca menjadi menurun.Hal ini jugalah yang membuat kita
suka membaca bahan bacaan ringan seperti novel namun malas membaca buku
pelajaran.
Selain
isi dan juga kemudahan dibacanya,segi originalitas menjadi hal lain yang membuat
buku di Indonesia menjadi inferior dibandingkan buku luar.Saya sendiri sering
menemukan bahwa banyak buku yang mengambil referensi dari bahan bacaan
lain,namun demikian ada satu hal yang cukup menarik yakni korelasi antara
bacaan dengan banyak referensi dan kualitas dari bacaan itu sendiri.Pengalaman
pribadi saya menemukan bahwa buku dengan sedikit kutipan (lebih orisinal) akan lebih mudah
dipahami karena ide dari sang penulis utama terlihat jelas,namun disisi lain buku
yang memiliki banyak kutipan dari buku lain cenderung lebih susah dipahami
karena terdapat banyak ide didalamnya.
Memang
benar bahwa kutipan dapat digunakan untuk menguatkan sudut pandang yang ingin
disampaikan penulis,namun demikian perlu juga diingat bahwa hal yang dikutip
belum tentu seratus persen sejalan dengan pola pikir yang ingin disampaikan
penulis.Dengan semakin banyaknya kutipan,maka akan semakin banyak pula pola
pikir penulis lain yang dimasukan kedalam tulisan.Sadar atau tidak,hal ini akan
membuat ide tulisan menjadi saling bertentangan.
Faktor
terakhir yang menyebabkan minat baca di Indonesia rendah adalah karena
bagaimana buku diposisikan dalam kegiatan belajar.Buku dalam dunia pendidikan
seringkali dianggap sebagai kitab mantra yang secara keseluruhan harus
dihapalkan dan menjadi acuan utama.Tidak sesuai dengan isi buku maka dianggap
salah dst.
Pola
pikir semacam ini membuat siswa menjadi terpaku pada satu buku dan menganggap
bahwa buku sebagai beban yang harus dikhatamkan layaknya sebuah kitab
suci.Padahal satu subjek yang dibahas dalam suatu buku bisa dibahas secara
berlainan bahkan bertentangan di buku yang lainnya.Hal inilah yang tidak muncul
dalam dunia pendidikan kita.Dunia pendidikan kita hanya meyakini hanya ada satu
kebenaran dalam satu subjek.Konsep seperti ini membuat siswa tidak terdorong
untuk mencari “kebenaran” versi yang lain melalui buku yang lain.
Buku
sebenarnya adalah referensi,ibaratkan sebuah manual untuk mengendarai
mobil.Pada akhirnya bagaimana gaya anda berkendara tidaklah menjadi soal selama
anda mematuhi rambu lalu lintas dan tidak menabrak orang tentunya.Seperti
halnya gaya berkendara,tidak ada satu gayapun yang dianggap salah selama anda
mematuhi rambu lalu lintas.Anda bisa berkendara dengan pelan dan hati-hati atau
berkendara secara agresif,semua kembali pada anda sendiri.
Belum ada tanggapan untuk "Opini 15 : Pandangan Keliru Mengenai Minat Baca Masyarakat Indonesia"
Post a Comment