KATA PENGANTAR
Puja puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Pemurah,yang karena kemurahanya,penulis dapat menyelasaikan makalah sederhana yang berjudul “Pemutusan Hubungan Kerja dan Pemberian pesangon Bakrie Life ditinjau dari UU no 13 Tahun 2003”.Makalah kecil ini walaupun tidak dapat membahas secara keseluruhan mengenai masalah tersebut namun penulis harapkan dapat setidaknya memberi sedikit pengetahuan terhadap masalah tersebut.
Seperti yang kita ketahui,masalah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) merupakan masalah yang sering menjadi perbincangan,baik dikalangan hukum maupun para ekonom.masalah pemutusan hubungan kerja selalu menjadi masalah yang hangat diperbincangkan,apalagi jika mulai menyentuh masalah pemberian pesangon yang kadang kala tidak lancar dan kadang kala tersendat menjadi isu utama dalam pemutusan hubungan kerja.
Akhir kata,penulis hanya berharap tulisan kecil ini dapat memberi manfaat bagi mereka yang membacanya
DAFTAR ISI
1.Kata Pengantar…………………………………………………………………………………… 1
2.Daftar Isi………………….....…………………………………………………………………….2
BAB 1
3.Pendahuluan
-.latar Belakang Masalah…………………………………………………………………..4
- Rumusan Masalah………………………………………………………………………..5
- Pembatasan Masalah ……………………..……………………………………………..5
- Tujuan dan Manfaat Penelitian……………..………………………….…………….5
BAB 2
4.Hukum Perburuhan
-Pengertian Hukum Perburuhan……………………………………………………….6-7
-Hakikat Hukum Perburuhan………………………….………………………………...7
-Sifat Hukum Perburuhan………………………………………………………………..8
-Tujuan dan Manfaat Hukum Perburuhan…………...………………………………….9
-Unsur dalam Hukum Perburuhan………………...………………………………..10-11
- Buruh laki-laki……………………………………………………………11
- Buruh Perempuan ………………………………………………………13
- Buruh Anak……………………………………………………………….15
- Pekerja Asing…………………………………………………………….15
- Serikat Buruh………………………………………………………….19-20
- Pengusaha……………………………………………………………..20
- Hubungan Kerja………………………………………………………..21
BAB 3
5.Kasus PHK Karyawan Bakrie Life………………………………………………………….22-24
6.Pemberian Pesangon…………………………………………………………………………25
7.Pemutusan Sepihak…………………………………………………………………………..25-26
BAB 4
8.Kesimpulan …………………………………………………………………………………….27
9 Daftar Pustaka………...…………………………………………………………………...…..28
-
BAB I
PENDAHULUAN
1.Latar Belakang
Masalah Ketenagakerjaan adalah masalah yang crucial dan selalu berkembang.sering kita mendengar tentang pemogokan karyawan suatu perusahaan karena masalah UMR maupun Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).Masalah Pemutusan Hubungan Kerja sering kali menjadi masalah terutama karena pembayaran pesangon yang tidak jelas.seringkali,pembayaran pesangon macet dikarenakan tidak lagi memiliki cukup danan untuk membayar pesangon para karyawanya.
Arbitrase antara pihak pengusaha dan serikat buruh sendiri seringkali tidak menemukan titik temu yang memuaskan untuk menemukan solusi yang diinginkan.masing masing pihak memilki kepentingan tersediri.Pihak pengusaha sendiri selalu berupaya mencari system pembayaran yang paling menguntungkan sedangkan pihak buruh selalu mencari system pembayaran yang dapat memberi pesangon yang cukup besar.
Seperti yang kita ketahui pemberian pesangon merupakan pengeluaran perusahaan yang sangat besar,hal ini dikarenakan jumlah pesangon tersebut harus dibayarkan dalam bentuk uang dan dibayarkan secara serempak kepada karyawan yang notabene jumlahnya tidak sedikit.
Dalam masalah ini saya ingin melihat bagaimana peran UU no 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan untuk mengatur masalah ketenagakerjaan secara umum,pemutusan hubungan kerja dan bagaimana system pemberian pesangon bagi karyawan.
1.2 Perumusan Masalah
1.Bagaimana pengaturan UU no 13 tahun 2003 tentang masalah ketenagakerjaan secara umum?
2.Bagaimana pengaturan UU no 13 tahun 2003 tentang masalah pemutusan hubungan kerja?
3 Bagaimana pengaturan UU no 13 tahun 2003 tentang masalah pemberian pesangon?
1.3 Pembatasan Masalah
Masalah yang akan dibahas adalah tentang ketenagakerjaan ,pemutusan hubungan kerja dan pemberian pesangon ditinjau dari UU no 13 tahun 2003 dan undang undang pendukun yang relevan.
1.4 Tujuan dan Manfaat Penulisan
1.Memberikan pengetahuan umum mengenai ketenagakerjaan
2.Memberikan pengetahuan tentang Pemutusan Hubungan Kerja dipandang dari sudut pandang UU no 13 Tahun 2003
3.Memberikan gambaran bagaimana UU no 13 tentang masakah pemutusan hubungan kerja dan pemberian pesangon
BAB II
HUKUM PERBURUHAN
2.1 PENGERTIAN HUKUM PERBURUHAN
Hukum perburuhan adalah sebagian dari hukum yang berlaku (segala peraturan )yang menjadi dasar dalam mengatur hubungan kerja antara buruh (pekerja) dengan majikan atau perusahaanya.mengenai tata khidupan dan tata kerja yang langsung bersangkut paut dengan hubungan kerja tersebut.
Pada prinsipnya hukum kerja adalah serangkaian peraturan yang mngatur segala kejadian dengan yang berkaitan dengan bekerjanya seseorang kepada orang lain dengan menerima upah.(zaeni asyhadi ,S.H.,M.Hum. :3)[1]
Ada beberapa unsur dalam pengertian tersebut yaitu :
1 Serangkaian peraturan
2 Peraturan tersebut mengatur tentang kejadian
Segala kejadian yang dimaksudkan adalah kejadian yang berkaitan dengan masa penempatan (bekerjanya) seseorang pada pihak lain.selama seseorang bekerja pada orang lain,banyak hal yang bisa terjadi.misalnya :
a.yang berkaitan sakit
b hamil/bersalin
c.kecelakaan
d.mejaga keselamatan dan kesehatan kerj
e.cuti
f.diputuskan hubungan kerjanya dan lain lain kejadian yang perlu pengaturanya dalam suatu peraturan perundang undangan.Kesemuanya itu haruslah tercakup dalam peraturan ketenaga kerjaan khusunya dalam hukum kerja yaitu hukum yang mengatur tenaga kerja dalam masa bekerja (during employment)[2]
3 adanya orang yang bekerja untuk orang lain
4 adanya upah
2.2 HAKIKAT HUKUM PERBURUHAN
Jika dibandingkan dengan hubungan antara seorang penjual dan pembeli barang atau orang yang tukar –menukar maka hubungan antara buruh dan majikan sangat berbeda sekali.orang yang jual beli barang bebas untuk memperjual belikan barangnya,artinya seorang penjual tidak dapat dipaksa untuk menjual barang yang dimilikinya kalau barang yang ditawarkan tidak sesuai dengan kehendaknya.
Demikian juga pembeli tidak dapat dipaksa untuk membeli suatu barang dari penjual jika harga barang yang diinginkan tidak sesuai dengan keinginannya.Demikian juga halnya dalam tukar menukar barang,orang bebas untuk menukar atau tidak menukar suatu barang yang dimilikinya jika tidak sesuai dengan kehendak masing masing pihak.
Dalam hubungan antara buruh dan majikan,secara yuridis buruh adalah bebas karena prinsip Negara kita tidak seorangpun boleh diperbudak,maupun dihamba.semua bentuk dan jenis perbudakan,peruluran dan penghambaan dilarang,tetapi secara sosiologis buruh itu tidak bebas sebagai orang yang tidak mempunyai bekal hidup selain tenaganya dan kadang kadang terpaksa untuk menerima hubungan kerja dengan majikan meskipun memberatkan bagi bagi buruh itu sendiri,lebih lebih saat sekarang ini dengan banyaknya jumlah tenaga kerja yang tidak
sebanding dengan banyaknya jumlah tenaga kerja yang tidak sebanding dengan lapangan pekerjaan yang tersedia.
Akibatnya,tenaga buruh seringkali diperas oleh majikan dengan upah yang relatif kecil.oleh sebab itulah pemerintah mengeluarkan beberapa peraturan perundang undangan untuk melindungi pihak yang lemah (buruh) dari kekuasaan majikan dan menempatkanya pada tempat yang layak sesuai dengan harkat dan martabat sebagai seorang manusia[3].
2.3 SIFAT HUKUM PERBURUHAN
Seperti yang kita ketahui bahwa tujuan hukum perburuhan adalah melaksanakan keadilan social dalam bidang perburuhan yang diselenggarakan dengan jalan melindungi buruh terhadap kekuasaan majikan.
Perlindungan buruh dari kekuasaan majikan terlaksana apabila peraturan perundang undangan dalam bidang perburuhan yang mengharuskan atau memaksa majikan untuk bertindak seperti dalam perundang undangan tersebut benar dilaksanakan semua pihak karna keberlakuan hukum tidak dapat diukur secara yuridis saja tetapi juga diukur secara sosiologis dan filosofis
Peraturan perundang undangan tersebut merupakan perintah atau larangan dan memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan itu baik dengan tidak sah atau batalnya perbuatan yang melanggar peraturan tersebut maupun dengan hukuman kurungan ataupun denda.
Dengan demikian,maka hukum perburuhan dapat bersifat privat/perdata dan dapat pula bersifat public.dikatakan bersifat perdata karena hukum perburuhan mengatur pula hubungan antara orang perorangan dalam hal ini antara buruh dengan majikan dimana dalam hubungan kerja yang dilakukan membuat suatu perjanjian yang lazim disebut perjanjian kerja sedangkan ketentuan mengenai perjanjian ini diatur dalam buku III KUHPER
Disamping bersifat perdata seperti yang disebutkan diatas,hukum perburuhan juga bersifat public karena :
1.dalam hal-hal tertentu pemerintah ikut campur tangan dalam menangani masalah – masalah perburuhan,misalnya dalam penyelesaian perburuhan dan atau pemutusan hubungan kerja (PHK) yakni dengan dibentuknya P4D dan P4P
2.adanya sanksi pidanan dalam setiap peraturan perundang undangna perburuhan (opcit hal 7)
2.4 Tujuan dan manfaat hukum perburuhan
2.4.1 tujuan hukum ketenagakerjaan (hukum perburuhan ) adalah untuk :
2.4.1 tujuan hukum ketenagakerjaan (hukum perburuhan ) adalah untuk :
- kepentingan diri sendiri akan lebih mengenal dan memahami hak-hak dan kewajiban –kewajiban sebagai buruh/pekerja /karyawan.bila hak haknya tidak terpenuhi oleh pihak majikan /pengusaha ,maka dapat menyampaikan dan menanyakan secara langsung kepada pihak majikan/pengusaha mengenai hak haknya yang belum diterima atau belum dipenuhinya
- kepentingan masyarakat/warga yang ingin menjadi buruh /pekerja/karyawan,memberikan informasi –informasi mengenai hak haknya yang mendapat jaminan dan perlindungan hukum dari pemerintah/Negara serta kewajibanya yang harus dilaksanakan
- kepentingan majikan /pengusaha dan pejabat pemerintah untuk memberikan informasi mengapa buruh /pekerja/karyawan mengadakan unjuk rasa dan mogok masal?karena majikan belum memenuhi hak hak normative yang telah diterapkan oleh ketentuan hukum atau undang undang.bahkan pejabat pemerintah ikut memihak kepada majikan/pengusaha yang bertentangan dengan ketentuan hukum
2.4.2 Manfaat Hukum Tenaga Kerja
- Mendapat kepastian hukum dan keadilan
- Kehidupan para buruh /pekerja/karyawan akan dapat terpenuhi secara layak dan sesuai dengan standar hidup,dan sesuai dengan ketentuan hukum.
- Kehidupan antara buruh/pekerja/karyawan dengan majikan/pengusaha terdapat hubungan yang harmonis serta adanya rasa memiliki perusahaan sehingga perusahaan akan lebih pesat perkembanganya dalam memenuhi kebutuhan hidup masyarakat dalam mewujudkan kesejahteraanya[4].(prof.dr H.R Abdussalam,SIK.,S.H.,M.H.hukum ketenagakerjaan (hukum perburuhan ).2008 restu agung :Jakarta hal 7-8)
2.5 UNSUR UNSUR DALAM HUKUM KETENAGAKERJAAN
Pihak dalam hukum ketenagakerjaan sangat luas,yaitu tidak hanya pengusaha dan pekerja /buruh saja tetapi juga pihak pihak lain yang terkait.luasnya para pihak ini karena masing masing pihak yang terkait dalam hubungan industrial saling berinteraksi sesuai dengan posisinya dalam menghasilkan barang dan/atau jasa.para pihak dalam hukum ketenagakerjaan tersebut adalah pihak pekerja/buruh,pengusaha,serikat kerja/serikat buruh ,organisasi pengusaha dan pemerintah/penguasa.uraian tentang masing masing pihak tersebut dijelaskan dalam pembahasan sebagai berikut :
2.5.1 Pekerja /Buruh
Pekerja/buruh dewasa (biasa disebut pekerja/buruh) adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.dalam definisi tersebut.terdapat 2 unsur yaitu orang yang bekerja dan orang yang menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.hal ini berbeda dengan definisi tenaga kerja yaitu setiap orang yang mampu melakuka pekerjaan guna mengasilkan barang dan atau jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun masyarakat.
Pengertian tenaga kerja mencakup pekerja/buruh,pegawai negeri tentara,orang yang sedang mencari pekerjaan ,orang orang yang berprofesi bebas seperti pengacara,dokter,pedagang,penjahit dll.
Masing masing profesi tersebut berbeda satu sama lain walaupun semuanya termasuk kedalam kategori tenaga kerja.hal ini karena hubungan hukum dan pengaturan yang mengaturnya juga berlainan.bagi pekerja/buruh hubungan hukum dengan pemberi kerja bersifat keperdataan yaitu dibuat antara para pihak yang mempunyai kedudukan perdata.hubungan hukum antara kedua pihak selain diatur dalam perjanjian kerja yang mereka tanda tangani (hukum otonom) juga diatur dalam perundang undangan yang dibuat oleh instansi /lembaga yang berwenang untuk itu (hukum heteronom).bagi pegawai negeri sipil dan tentara,hubungan hukum antara mereka dengan pemerintah didasarkan pada hukum public yang bersifat heteronom.
Pekerja /buruh merupakan bagian dari tenaga kerja yaitu tenaga kerja yang bekerja di dalam hubungan kerja ,dibawah perintah pemberi kerja (bisa perorangan ,pengusaha,badan hukum atan badan lainya) dan atas jasanya dalam bekerja yang bersangkutan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.dengan kata lain tenaga kerja disebut sebagai pekerja /buruh bila ia melakukan pekerjaan di dalam hubungan kerja dan dibawah perintah orang lain dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain tetapi tidak berada didalam hubungan kerja seperti misalnya tukang semir sepatu atau tukang potong rambut bukan merupakan pekerja/buruh.
Istilah pekerja atau buruh secara yuridis sebenarnya adalah sama dan tidak ada perbedaan diantara keduanya.kedua kata tersebut dipergunakan dan digabungkan menjadi ‘pekerja/buruh” dalam undang undang no 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan untuk menyesuaikan dengan istilah serikat kerja/buruh yang terdapat dalam undang undang no 21 tahun 2000 yang telah diundangkan sebelumnya.pada zaman hindia belanda istilah buruh hanya diperuntukan untuk bagi orang yang melakukan pekerjaan tangan atau pekerjaan kasar semisal kuli,tukang,mandor dan lain-lain yang didunia barat dikenal dengan istilah “blue collar”.orang yang melakukan pekerjaan halus terutama yang mempunyai pangkat dan diberi kedudukan sebagai priyayi di dunia bara dikenal dengan istilah white collar.
Pembedaan kedua istilah ini bisa kita lihat dalam KUH Perdata Buku III afdeling 4 yang hanya mengatur soal pelayan dan tukang (dienstboden en werkleiden ).baru pada tanggal 1 januari 1927 istilah pekerja /buruh halus dan kasar tidak dibedakan dalam buku III bab 7A KUHPerdata.bagi pekerja /buruh Indonesia dan timur asing ketentuan Bab 7a buku III KUHPerdata diberlakukan bilamana bekerja pada pengusaha atau majikan eropa dan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang biasanya dilakukan oleh pekerja /buruh eropa sedang apabila bekerja sebagai pelayan dan pekerja yang berlaku adalah bab 7 bagian 5 Buku III KUHPerdata
Pembedaan perlakukan peraturan tersebut menunjukan bahwa KUHPerdata bersifat diskriminatif terhadap pekerja/buruh Indonesia.guna menghilangkan diskriminasi tersebut maka setelah kemerdekaan,Mahkamah Agung mengeluarkan surat Edaran Mahkahmah Agung (SEMA) No.3 Tahun 1963 yang menegaskan penggunaan Bab 7A buku III KUH perdata sebagai pedoman dalam hubungan kerja antara pengusaha/majikan dengan pekerja/buruh bagi seluruh warga Negara Indonesia
Undang undang no 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan tidak membedakan antara pekerja/buruh dengan halus(white collar) dengan buruh kasar (blue collar .pembedaan pekerja/buruh dalam undang undang ini hanya didasarkan kepada jenis kelamin (pekerja/buruh perempuan dan laki laki ) dan usia (pekerja /buruh anak).pembedaan ini dilakukan bukan dalam rangka diskriminasi tetapi untuk melindungi pekerja/buruh yang lemah daya tahan tubuhnya dan untuk menjaga norma norma kesusilaan.
2.5.2 Pekerja/buruh perempuan
Undang undang no 13 tahun 2003 memberikan beberapa keringanan kepada buruh perempuan.keringanan ini diberikan untuk melindungi pekerja /buruh perempuan karana kodrati perempuan mempunyai tugas dan fungsi lain yang lebih penting dalam masyarakat yaitu reproduksi.kondisi dan daya tahan tubuh perempuanpun secara medis juga lebih lemah dibandingkan dengan laki laki sehingga wajar jika perempuan memperoleh kemudahan antara lain :
a.buruh/perempuan yang berusia kurang dari 18 tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00-07.00
b pekerja /buruh perempuan yang hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan diri dan kandunganya dilarang dipekerjakan di malam hari antara pukul 23.00 hingga pukul 07.00
c pengusaha yang memperkerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 sampai pukul 07.00 wajib :
1. memberikan makanan dan minuman bergizi yang bervariasi diberikan pada waktu istirahat antara jam kerja serta tidak dapa digantikan dengan uang.penyajian makanan dan minuman peralatan dan ruangan makan harus layak serta memenuhi syarat hiegienis serta sanitasi
2. menjaga kesusilaan dan keamanan selama ditempat kerja dengan menyediakan petugas keamanan di tempat kerja dan menyediakan kamar mandi/WC yang layak dengan penerangan memadai serta terpisah antara pekerja /buruh perempuan dan laki laki
d.pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja /buruh perempuan yang berangkat dan pulang kerja antara pukul 23.00 hingga pukul 05.00.penjemputan dilakukan ditempat kerja dan sebaliknya dengan lokasi penjemputan dan pengantaran yang mudah dijangkau dan aman bagi pekerja/buruh perempuan.kendaraan antar jemput harus dalam kondisi layak dan terdaftar di perusahaan.
Pelanggaran terhadap ketentuan ini merupakan tindak pidana pelanggaran yang diancam hukuman pidana kurungan sekurang kurangnya 1 bulan penjara dan atau denda paling sedikit Rp 10.000.000,00 dan paling banyak 100.000.000,00
2.5.3 Pekerja /Buruh Anak
Anak dalam hukum ketenagakerjaan adalah setiap orang berumur di bawah 18 tahun.pada prinsipnya pengusaha dilarang untuk mempekerjakan anak.hal ini disebutkan dalam pasal 68 undang undang no 13 tahun 2003.Larangan mempekerjakan anak dimaksudkan untuk melindungi anak agar tidak terganggu pertumbuhan dan kesehatanya.daya tahan tubuh anak sangat rentan terhadap lingkungan kerja,apabila bila sering berhubungan dengan bahan bahan kimia.penelitian pada industry sepatu di jawa barat menunjukan bahwa orang orang yang bekrja sejak anak anak sebagian besar meninggal dunia sebelum berusia 50 tahun karena kanker paru paru dan gagal ginjal.anak anak yang bekerja pada umuny terpaksa meninggalkan bangku sekolah karena factor ekonomi sehingga bakat dan kememampuanya tidak berkembang[5]
2.5.4 Pekerja Asing
Masalah tenaga kerja asing di Indonesia memang merupakan masalah yang tak ada habisnya untuk dibahas. Pemahaman mengenai penggunaan tenaga kerja asing dimulai dari ketentuan Pasal 42 ayat 4 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 yang mengatur bahwa, Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu. Pasal ini mensyaratkan bahwa keberadaan tenaga kerja asing di Indonesia hanya dapat untuk sementara saja dan untuk posisi tertentu saja. Hal ini tentu berkaitan dengan tujuan dibentuknya UU No. 13/2003, salah satunya yaitu untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing tenaga kerja Indonesia.
Pesan yang terkandung dalam Pasal 42 ayat 4 secara khusus dan UU No. 13 Tahun 2003 secara umum adalah adanya kebutuhan untuk melindungi, menjamin dan memberi kesempatan kerja yang layak bagi Warga Negara Indonesia. Itu pula sebabnya mengapa dalam UU No. 13/2003 diatur serangkaian kewajiban yang cukup ketat berkaitan dengan penggunaan tenaga kerja asing, seperti kewajiban memiliki rencana penggunaan tenaga kerja asing (Pasal 43 ayat 1 UU No. 13/2003), izin mempekerjakan tenaga kerja asing (Pasal 42 ayat 1 UU No. 13/2003) serta kewajiban untuk menunjuk tenaga kerja Indonesia sebagai tenaga pendamping tenaga kerja asing (Pasal 45 ayat 1 UU No. 13/2003).
Semangat tidak menjadikan pekerja asing sebagai pekerja tetap juga tersirat dari pasal 48 yang menyatakan bahwa pemberi kerja wajib memulangkan tenaga kerja asing ke negara asalnya setelah hubungan kerja berakhir.
Keseluruhan pengaturan penggunaan tenaga kerja asing tersebut dimaksudkan agar penggunaan tenaga kerja asing benar-benar dilakukan secara selektif supaya dapat mendorong pertumbuhan tenaga kerja Indonesia yang mampu bersaing dan pada akhirnya dapat menggantikan posisi tenaga kerja asing di Indonesia.
Konsekuensi lain dari pengaturan Pasal 42 ayat 4 UU No. 13/2003 tersebut adalah tenaga kerja asing dengan sendirinya merupakan pekerja waktu tertentu. Dengan demikian, bila terjadi pemutusan hubungan kerja terhadap tenaga kerja asing, tenaga kerja asing tersebut tidaklah berhak atas kompensasi-kompensasi yang diperuntukkan untuk pekerja waktu tidak tertentu, yaitu uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana diatur oleh Pasal 156 UU No. 13/2003.
Minimal, inilah pengertian yang umum diterima oleh masyarakat. Namun, tampaknya pemahaman masyarakat terhadap UU No. 13/2003, khususnya mengenai tenaga kerja asing, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan pesangon harus dirombak. Salah satu yang mendorong perubahan pandangan itu adalah putusan PHI No. 174/PHI.G/PN.JKT.PST. Dalam putusan tertanggal 25 Januari 2007 itu, Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial menyatakan bahwa tenaga kerja asing dapat dikategorikan sebagai pekerja waktu tidak tertentu atau pekerja tetap. Konsekwensinya juga berhak atas uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak-hak yang seharusnya diterima dalam hal adanya pemutusan hubungan kerja.
Perkara Nomor 174/PHI.G/2006/PN.JKT.PST merupakan perkara antara perusahaan penanaman modal asing yang berdomisili di Jakarta melawan mantan Wakil Direktur Utamanya yang merupakan tenaga kerja asing. Perkara ini berpusat pada pemutusan hubungan kerja terhadap tenaga kerja asing tersebut, yang terjadi sebelum masa kerjanya habis.
Menurut penulis, pertimbangan majelis dalam putusan ini tidak hanya mengejutkan, tetapi juga bisa debatable. Bagaimana mungkin tenaga kerja asing yang penggunaannya menurut undang-undang, hanya untuk waktu tertentu, dapat dikategorikan sebagai pekerja waktu tidak tertentu?
Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial mendasari putusannya tersebut berdasarkan Pasal 59 UU No. 13/2003 dan Pasal 15 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. KEP-100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (Kepmennaker No. 100/2004). Dalam pertimbangan hukumnya, Majelis Hakim berpendapat bahwa apabila terdapat hal-hal sebagaimana diatur oleh Pasal 15 Kepmennaker No. 100/2004 dalam sebuah PKWT, maka PKWT tersebut akan berubah menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Majelis menganggap apabila perjanjian kerja waktu tertentu tidak diperbaharui maka demi hukum perjanjian itu berubah menjadi perjanjian waktu tidak tertentu. Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah ketentuan-ketentuan Pasal 15 Kepmennaker No. 100/2004 tersebut dapat diberlakukan per se terhadap tenaga kerja asing yang hanya dapat dipekerjakan di Indonesia untuk waktu tertentu?
Selain itu, ketika dihadapkan dengan argumen bahwa hak dan kewajiban tenaga kerja asing berbeda dengan hak dan kewajiban tenaga kerja Indonesia, Majelis Hakim punya pandangan menarik. Menurut majelis, argumen di atas dapat dikategorikan sebagai tindakan diskriminasi dalam pekerjaan atau jabatan sebab tenaga kerja asing pun berhak atas perlakuan sama dengan tenaga kerja Indonesia atas hilangnya atau berkurangnya kesetaraan kesempatan atau perlakuan dalam pekerjaan atau jabatan. Majelis mendasarkan pertimbangannya pada Pasal 6 dan 31 UU No. 13/2003, Pasal 28 D UUD 1945 serta Pasal 1 angka 1a dari ILO Convention Number 111 Concerning Discrimination in Respect of Employment and Occupation yang telah diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1999.
Pasal 6 menegaskan bahwa setiap pekerja berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha. Pasal 28 D UUD 1945 juga menegaskan hal serupa: setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
Pertanyaannya, bukankah memang sudah sejak semula Pemerintah Indonesia menerapkan pembatasan-pembatasan pada penggunaan tenaga kerja asing? Sebagaimana telah dipaparkan pada bagian awal artikel ini, pada akhirnya kebijakan tersebut dengan sendirinya menciptakan perbedaan hak dan kewajiban antara tenaga kerja asing dengan tenaga kerja Indonesia?
Putusan majelis memang belum berkekuatan hukum tetap. Para pihak masih bisa menempuh upaya hukum lanjutan. Tetapi, pandangan dan pertimbangan majelis dalam perkara ini menarik untuk dikaji dalam kaitannya dengan regulasi penggunaan tenaga kerja asing di Indonesia. Setidaknya, pandangan ini membuka peluang bagi tenaga kerja asing untuk bekerja tetap di Indonesia. Bila hal ini terjadi, maka kesempatan kerja bagi tenaga kerja Indonesia akan semakin berkurang karena mereka tidak lagi hanya bersaing dengan sesama tenaga kerja Indonesia, namun juga dengan tenaga kerja asing. Jika demikian halnya, dapat dipastikan tujuan pembentukan UU No.13/2003 untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing tenaga kerja Indonesia tidak tercapai[6].
2.5.5 Serikat Buruh (UU NO 21 Tahun 2000)
Menurut Undang undang No 21 tahun 2000,yang dimaksud dengan serikat buruh adalah :
1. Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk
pekerja/buruh baik di perusahaan maupun diluar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka,
mandiri, demokratis dan bertanggungjawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi
hak dan kepentingan pekerja dan buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan
keluarganya.
Dari pengertian diatas dapat kita simpulkan bahwa serikat buruh merupakan suatu organisasi yang memiliki tujuan melindungi kepentingan buruh dari kesewenangan-wenangan majikan hal ini tersirat dalam kata “guna memperjuangkan,membela serta membela serta melindungi hak dan kepentingan kepentingan pekerja”.Serikat buruh
merupakan suatu organisasi yang memiliki sifat :
1.Bebas
2.Terbuka
3.Mandiri
4.Demokratis
5.bertanggung jawab
2.5.6 Pengusaha (UU no 13 tahun 2003 pasal 1 ayat 5 )
Pengusaha adalah :
a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu
perusahaan milik sendiri;
b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri
menjalankan perusahaan hukum miliknya;
c. orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang berada di Indonesia
mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang
berkedudukan di luar wilayah Indonesia.[7]
Pengusaha pada dasarnya adalah pemberi kerja yang melakukan hubungan dengan buruh sebatas pekerjaan dengan balas jasa berupa uang ataupun imbalan yang serupa denganya.
2.5.7 Hubungan kerja
Hubungan kerja adalah hubungan yang timbul antara pekerja dan pengusaha sesuai dengan pasal 50 UU no 13 tahun 2003
Pengaturan mengenai Perjanjian kerja antara pekerja dan pengusaha
(UU No 13 tahun 2003 pasal 54)
Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang-kurangnya memuat :
a. nama, alamat perusahaan dan jenis usaha;
b. nama, jenis kelamin, umum dan alamat pekerja/buruh;
c. jabatan atau jenis pekerjaan;
d. tempat pekerjaan;
e. besarnya upah dan cara pembayarannya;
f. syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan
pekerja/buruh.
g. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
h. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan
i. tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
BAB III
ANALISIS KASUS
3.1Kasus PHK Karyawan Bakrie Life : Pemerintah Larang Pesangon Dibayar Pakai Surat Utang
Jakarta - Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) melarang perusahaan membayarkan pesangon melalui instrumen surat utang. Sesuai aturan, pesangon harus dibayarkan secara tunai dan dalam jumlah yang penuh.
Hal ini disampaikan oleh Dirjen Pembinaan Hubungan Industri dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kemenakertrans Myra M. Hanartani kepada detikFinance, Kamis (19/5/2011).
"Kalau pesangon harus cash kontan, namanya juga pesangon, harus sekaligus dan cash," tegas Myra.
Myra mengaku belum mendapat laporan terkait kasus eks karyawan Bakrie Life yang mengajukan gugatan ke pengadilan hubungan industrial Jakarta. Namun kata dia, langkah yang sudah dilakukan oleh eks karyawan Bakrie Life tersebut sudah tepat. "Saya kira memang pantas ke sana," katanya.
Menurutnya jika memang sistem pembayaran pesangon yang dilakukan manajemen Bakrie Life memakai surat utang, maka itu sudah menyalahi ketentuan. Meskipun ia mengakui dalam beberapa kasus pesangon dibayarkan tidak penuh karena alasan keuangan perusahaan namun tetap dalam koridor pembayaran secara tunai dan disepakati oleh karyawan.
"Memang kadang-kadang ada niat membayar dari perusahaan dengan cara dihutang, yaitu dibayar separuh ada juga. Kalau prinsip kita begitu ada PHK, pesangon dibayar tunai ketika kesepakatan jatuh," tegasnya.
Dikatakannya, dalam kasus Bakrie Life, masalah pembayaran pesangon dengan surat utang selain melanggar ketentuan juga tak memberikan kepastian kepada karyawan yang di PHK. Mengingat pesangon bertujuan untuk menopang kebutuhan ekonomi jangka pendek bagi karyawan yang di PHK.
"Kalau surat utang jatuh temponya 10 tahun bagaimana? bagaimana dengan sangu karyawan," katanya.
Seperti diketahui PT Asuransi Jiwa Bakrie atau Bakrie Life melakukan PHK secara sepihak terhadap sejumlah karyawannya. PHK itu juga menyalahi aturan karena pembayaran pesangonnya memakai surat utang.
"Bakrie Life melakukan PHK sepihak kepada para karyawannya dengan iming-iming pembayaran uang pesangon dan hak-hak lain yang seharusnya diterima dengan suatu surat utang (MSN)," ujar Redynal Saat, kuasa hukum dari Forum karyawan Bakrie Life Menggugat (FKBLM).
Redynal mewakili 17 karyawan Bakrie Life mulai dari level staf hingga vice president (VP) akhirnya mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial Jakarta pada Rabu (18/5/2011). Para karyawan tersebut memiliki masa kerja 5 hingga 20 tahun di Bakrie Life.
Dalam UU No 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, masalah pesangon diatur diantaranya pada pasal 156. Pada ayat (1) disebutkan alam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima. (wdo/dnl)[8]
Dari kasus diatas kita akan mencoba meneliti beberapa pelanggaran yang dilakukan oleh pihak Bakri life terhadap undang-undang No 13 tahun 2003 yaitu :
3.2 Pembayaran Pesangon
1. Pasal 156 ayat 1
Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar
uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak
yang seharusnya diterima.
Jika kita melihat isi pasal 156 ayat 1 dapat kita simpulkan bahwa :
1.Pengusaha memiliki kewajiban untuk memberikan pesangon kepada karyawan yang di PHK
2.Pensangon tersebut merupakan suatu balas jasa yang berbentuk (uang) bukan merupakan surat utang
Pesangon yang ditawarkan oleh Bakrie life merupakan pembayaran dengan surat utang yang notabene bertentangan dengan pasal 156 ayat 1 tentang bentuk pesangon yang harusnya diberikan yaitu berupa “uang” cash bukan surat utang
3.3 Pemutusan Sepihak
Pasal 151 ayat 2
Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak
dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh
pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila
pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat
buruh.
Pasal 151 ayat 2 secara jelas menyatakan bahwa dalam pemutusan hubungan kerja harus dirundingkan antara pihak pekerja/serikat buruh dan pengusaha.dalam kasus bakrie life,pemutusan hubungan kerja tidak dilakukan dengan perundingan sehingga mengakibatkan unjuk rasa,hal ini diperkuat dengan statement
Myra M. Hanartani yaitu
“Seperti diketahui PT Asuransi Jiwa Bakrie atau Bakrie Life melakukan PHK secara sepihak terhadap sejumlah karyawannya. PHK itu juga menyalahi aturan karena pembayaran pesangonnya memakai surat utang”
BAB IV
Penutup
4.1 Kesimpulan dan Saran
Setelah menganalisa kasus Bakrie Life,kita dapat melihat bahwa terdapat ketimpangan antara masalah hukum dan ekonomi.disatu sisi hukum menginginkan adanya keadilan dan kepastian hukum namun jika kita melihat dari sisi ekonomi,terutama dari pihak pengusaha dan pihak yang berkepentingan menginginkan adanya efisiensi biaya.
Saran yang bisa penulis berikan adalah,dalam analisa kasus dengan tinjauan hukum,perlu tinjauan yang mendalam dan dibutuhkan waktu yang tidak sedikit.Namun,dikarenakan waktu yang terbatas maka analisis yang penulis berikan tidak terlalu mendalam .
DAFTAR PUSTAKA
http://www.detikfinance.com/read/2011/05/19/133034/1642466/5/pemerintah-larang-pesangon-dibayar-pakai-surat-utang
UU NO 13 Tahun 2004
Prof.dr H.R Abdussalam,SIK.,S.H.,M.H.hukum ketenagakerjaan (hukum perburuhan).2008.Restu Agung : Jakarta
Zaeni Asyhadi,S.H.,M.Hum.Hukum Ketenagakerjaan.2010.PT Raja Grafindo Persada : Jakarta
Zainal Asikin,SH.,S.U(Ed),H.Agustian Wahab,S.H.,Lalu Husni S.H. Zaeni Asyhadie S.H.,M.Hum.Dasar dasar hukum perburuhan.2010.PT Raja Grafindo Persada :Jakarta
[1] Zaeni Asyhadi,S.H.,M.Hum.Hukum Ketenagakerjaan.2010.PT Raja Grafindo Persada : Jakarta Hlmn : 3
[2] Ibid,halaman 7
[3]Zainal Asikin,SH.,S.U(Ed),H.Agustian Wahab,S.H.,Lalu Husni S.H. Zaeni Asyhadie S.H.,M.Hum.Dasar dasar hukum perburuhan.2010.PT Raja Grafindo Persada :Jakarta hal 5-6)
[4]Prof.dr H.R Abdussalam,SIK.,S.H.,M.H.hukum ketenagakerjaan (hukum perburuhan.2008.Restu Agung : Jakarta hal 7-8
[5] Ibid,hal 9 -10
[6] www.hukumonline.com/Reno Hirdarisvita/tenaga kerja asing dan ketenagakerjaan Indonesia
[7] UU No 13 Tahun 2003 pasal 1 ayat 5
[8] http://www.detikfinance.com/read/2011/05/19/133034/1642466/5/pemerintah-larang-pesangon-dibayar-pakai-surat-utang
Belum ada tanggapan untuk "Analisis No 1 Kasus PHK Bakrie Life"
Post a Comment